
Tahun baru Islam atau yang biasa dikenal dengan sebutan tahun baru Hijriah lahir dari Gagasan beberapa tokoh muslim, diantara mereka adalah Abu Musa Al-Asya’ri, Sayyidina Umar ibnu Khottob dan Ali bin Abi Tholib.
Muharam adalah bulan pertama dalam penanggalan Hijriah, Urutannya adalah Muharam, Shafar, Rabiul Awwal, Rabiul Akhir, Jumadil Ula, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqaidah dan Dzulhijjah.
Muharam berasal dari kata Haroma-yuhrimu yang artinya di ‘haramkan” atau di “pantang”, maksudnya secara terminologi adalah bulan pelarangan untuk melakukan peperangan dan pertumpahan darah. Di antara 12 bulan Hijriah yang telah disebutkan di atas, ada empat bulan yang dikategorikan sebagai bulan haram. Bulan bulan tersebut adalah; Rajab, Dzulqaidah, Dzulhijjah dan Muharam. Kaum muslimin dilarang melakukan pereparangan ataupun pertumpahan darah dalam bentuk apapun di bulan haram ini. Sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Baqaroh ; 127, kemudian larangan tersebut dihapus berdasarkan surat At-Taubah ; 36.
Imam Bukhori dalam tarikhnya, sebagaimana dicatat oleh Al-hafidz Jalaluddin As-Suyuti dalam Tarikhul Khulafa’ dengan riwayat dari Sa’id Ibnu Musayyib Mengatakan “Orang yang pertama kali menggunakan tanggal Hijriah adalah Umar Ibnu Khottob. Ia menetapkannya pada tahun 16 Hijriah setelah diadakannya Musyawarah dengan para sahabat yang salah satunya adalah Ali ibn Abi Tholib”.
Pada 638 Masehi, Gubernut Irak, Abu Musa Al-Asya’ri mengirimkan surat kepada Khalifah Umar ibnu Khottab di Madinah. Di antara isinya adalah “Surat-surat kita telah memiliki tanggal dan bulan, tetapi tidak disertai tahun. Sudah saatnya umat Islam membuat tarikh sendiri dalam perhitungan tahun”.
Sayyidina Umar menyetujui gagasan tersebut. Sebagai khalifah yang sedang menjabat pada saat itu, Umar Ibn Khottob kemudian membentuk kepanitiaan untuk memusyawarahkan penentuan tahun pertama dalam penanggalan Hijriah. Terdapat empat sahabat yang terlibat dalam kepanitian; Utsman Ibn Affan, Ali ibn Bin Abu Tholib, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqos, Thalhah ibn Zubair, dan Zubair ibn Awam.
Perbincangan diantara para sahabat tersebut tidak serta merta menemukan titik akhir, ada perdebatan dan pertikaian sengit terkait kapan seharusnya awal penanggalan tahun Hijriah dimulai. Ada yang mengusulkan perhitungan tahun baru di mulai dari kelahiran nabi Muhammad SAW. pada tahun gajah yang bertepatan dengan tahun 571 Masehi. Adapula yang mengusulkan tahun baru dimulai sejak turunnya wahyu pertama, tahun 610 Masehi.
Perdebatan tersebut akhirnya berakhir dengan diterimanya gagasan dari Sayyidina Ali ibn Tholib. Dia memberikan tiga argumentasi inti terkait urgensi dari penetapan penanggalan tahun baru Hijriah. Pertama, banyak penghargaan Allah bagi orang yang berhijrah di dalam Al-Qur’an. Kedua, Masyarakat Islam yang berdaulat dan mandiri terwujud setelah hijrah ke Madinah. Ketiga, umat Islam sepanjang zaman diharapkan selalu memiliki semangat untuk hijrah, memiliki jiwa dinamis yang tidak terpaku pada suatu keadaan, dan hendaknya umat islam berhijrah kepada kondisi yang lebih baik.
Akhirnya, dari argumentasi tersebut disepakati bahwa tahun hijrahnya Nabi Muhammad SAW. sebagai tahun baru pertama, sejak saat itulah kalender umat Islam disebut Tarikh Hijriah.
Perdebatan belumlah usai setelah ditetapkannya tahun baru Hijriah, perdebatan baru mengenai penetapan awal bulan dari Hijriah pun muncul, pada bulan apa penanggalan tahun baru Hijriah dimulai?. Ada yang mengusulkan Bulan Ramadhan, Rabiul Awal dan Muharam dengan argumentasi tersendiri. Akhirnya, disepakatilah bulan Muharam menjadi bulan pertama dalam kalender Hijriah. Sebagaimana Umar ibnu Khottob menyatakan “Mulailah dengan Muharram, Karena dibulan itu orang-orang baru selesai dari pelaksanaan haji”. Para sahabat pun menyepakatinya.
Awal tahun baru Hijriah dimulai pada (1 Muharam / 1 Hijriah), bertepatan dengan 16 juli 622 Masehi. Adapun keluarnya keputusan itu (638 Masehi ), ditetapkan sebagai tahun 17 Hijriah.